jaman sekarang penyakit bukan semata2 disebabkan oleh kuman semata,,tapi bnyak kaleee,,,faktor laen,,seperti status sosial,,ekonomi dll,,bagaimana tidak banyak sekali saya liat tetangga2 saya sakit telinga gara2 melihat tetangga nya yang belik mobil baru,,wkwk,,(g nyambung) nyambung kalii kalo mobil yang dibelik mobil bekas,, n sound nya faless abis,,alias suara mobil tua,,yang bisa memekak telinga,,demikian juga dinegara kita,,gosipnya indonesia memiliki harga obat generik yang mahal se_asean,,bahkan gosip2 nya se dunia,,,apa mungkinnn???mungkin?? mungkinn ajha kaliii,,,qita liat nechh faktanya,,,abang kompas memuat di edisi hariannya (senin,21 feb,2011) kalo sejumlah warga yang menderita sakit di berbagai daerah di Indonesia mengeluhkan harga obat yang semakin mahal. Warga pemegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat pun merasakan dampak kenaikan harga obat karena tidak semua obat ditanggung asuransi.
Hasan Abdulah (75), pemegang kartu Jamkesmas, menuturkan, kenaikan harga obat sangat terasa karena ia harus membeli obat di luar daftar obat Jamkesmas. ”Saya enggak tahu nama obatnya, tetapi ada obat yang harga satu paketnya Rp 400.000. Tiga bulan lalu, petugas di apotek mengumumkan kalau harga obat akan naik,” katanya saat ditemui di RS Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, akhir pekan lalu.
”Saya dan istri sudah tua, penyakit banyak. Kalau bisa harga obat jangan naik,” ujarnya.
Yang terpuruk adalah pasien kelas menengah bawah yang dianggap tidak miskin, tetapi dananya sangat pas-pasan.
Norma (40), warga Jalan Pancing, Medan, Sumatera Utara, penderita tumor payudara dan baru dioperasi, mengatakan, keluarganya terpaksa pinjam sana- sini dan menggadaikan barang untuk membiayai operasi. Keluarga Norma berupaya mengurus Jamkesmas, tetapi ditolak.
Nasib serupa menimpa Parjono (60), warga Masaran, Sragen, Jawa Tengah, tukang becak yang beristri buruh pembatik. Ia terpaksa berutang untuk membayar biaya rawat inap sembilan hari di RSUD Dr Moewardi, Solo, karena sakit jantung. Adik Parjono, Triyono, mengatakan, biayanya Rp 4,5 juta. Surat keterangan tidak mampu hanya memberikan potongan 10 persen.
Josephin (49), warga Jakarta yang menderita diabetes, memilih menggunakan obat generik. Ia harus mengonsumsi obat secara rutin dua kali sehari. Untuk obat generik saja ia menghabiskan biaya Rp 150.000 per bulan. Hal sama dilakukan suami Josephin, Sadmoko (50), penderita gangguan jantung, dalam membeli obat pengencer darah.
Namun, tidak semua obat tersedia versi generiknya, misalnya obat untuk kanker. Keresahan dirasakan Sondang (40), yang menunggui anaknya, Christine (4), yang terkena leukemia. Christine telah empat bulan di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Dalam 25 hari pertama, Sondang mengeluarkan biaya Rp 22 juta. Sebagai pegawai negeri sipil, Sondang ditanggung Asuransi Kesehatan (Askes). Namun, tak semua obat kemoterapi dan peralatan penunjang ditanggung Askes.
Wakil Direktur Bidang Pelayanan RSUD Tugurejo, Semarang, Haryadi Ibnu Junaedi memaparkan, pihaknya kini menawarkan pilihan obat generik atau obat bermerek bagi pasien umum. Untuk pemberian obat di atas Rp 100.000, pasien akan dimintai tanda tangan persetujuan agar pasien tak kaget saat membayar biaya RS.
Kambing hitam
Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group Parulian Simanjuntak di Jakarta menyatakan, harga obat dipersoalkan karena 80-85 persen penduduk Indonesia membayar biaya kesehatan dari dana pribadi.
”Tersedianya jaminan sosial untuk biaya kesehatan amat mendesak. Selama jaminan itu tidak ada, obat akan menjadi kambing hitam,” katanya.
Di negara maju, seperti Amerika Serikat, biaya obat hanya 7-8 persen dari total biaya kesehatan. Komponen biaya terbesar justru pada penggunaan alat-alat modern untuk diagnosis penyakit serta biaya dokter.
Menurut Parulian, kenaikan harga obat setiap tahun dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tingkat inflasi. Hal senada dinyatakan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Sunarjo.
Penyebab lain kenaikan harga obat, menurut Parulian, adalah tidak efisiennya pasar obat di Indonesia. Pangsa pasar obat Indonesia sangat kecil, tetapi jumlah industri dan distributor farmasi sangat besar.
Saat ini ada sekitar 200 perusahaan farmasi, baik perusahaan dalam negeri maupun asing. Pangsa pasar obat Indonesia pada 2010 hanya 4 miliar dollar AS atau 0,6 persen pangsa pasar obat dunia yang 700 miliar dollar AS. Padahal, porsi penduduk Indonesia 3,5 persen penduduk dunia. ”Walau potensi penduduk Indonesia besar, pangsa pasar obat Indonesia sangat kecil,” katanya.
Konsumsi obat Indonesia termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Konsumsi obat per kapita Indonesia tahun lalu hanya 17 dollar AS, jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi obat per kapita Malaysia yang mencapai 3-4 kali lipatnya.
Kenaikan harga obat kali ini terkait rencana pemerintah menaikkan pajak bahan kimia obat. Hal itu mengingat hampir semua bahan kimia obat diimpor.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ahmad Ramadhan Siregar mengatakan, tingginya harga obat disebabkan oleh kartel. Menurut Ramadhan, disparitas harga terjadi pada obat generik, obat generik bermerek, dan obat paten. Disparitas harga bisa mencapai 300 persen.
Dari perkara terkait farmasi yang ditangani KPPU, 50 persen biaya produksi obat adalah biaya promosi dan distribusi. ”Orang yang sedang sakit tidak bisa menolak apabila dokter merekomendasikan resep obat tertentu,” kata Ramadhan.
Rambu penetapan harga
Direktur Unit Bisnis Pharma Glaxo Smith Kline (GSK) Indonesia Kent K Sarosa menyatakan, harga obat berbeda di setiap negara. Di negara-negara Eropa yang menerapkan asuransi kesehatan sosial, harga obat bergantung pada negosiasi pemerintah atau pengelola asuransi sosial dengan produsen sehingga bisa lebih murah dibandingkan harga di negara lain. Selain itu, obat generik lebih diutamakan sehingga ketika suatu obat habis masa perlindungan patennya, produsen otomatis menurunkan harga obat agar mampu bersaing dengan produsen yang membuat obat generik.
Masalahnya, menurut Kent, di Indonesia tak ada rambu penetapan harga obat generik bermerek. Karena itu, produsen yang memproduksi obat yang habis masa patennya menjual obat dengan harga tak jauh berbeda dengan obat originator (asli). Akibatnya, harga obat originator yang patennya berakhir ataupun obat generik bermerek tidak pernah turun, bahkan cenderung naik terus. Masalah lain, ada ketakpercayaan masyarakat dan sebagian dokter terhadap mutu obat generik sehingga pemanfaatan obat generik masih sedikit.
Pemerintah perlu membuat rambu penetapan harga obat generik bermerek. Kent dan Parulian berpendapat, pemerintah perlu menjaga mutu dan menyosialisasikan obat generik agar lebih banyak yang memakai sehingga harga obat bisa turun.
wahhh,,wahh ,,wahhh,,ada vaksin nya g yahhh,,,ancaman "high class harga obat" ibu2,,bapak2 yang berwenang,,tulung dunkk,,nyariin vaksinn nya to!!!
Hasan Abdulah (75), pemegang kartu Jamkesmas, menuturkan, kenaikan harga obat sangat terasa karena ia harus membeli obat di luar daftar obat Jamkesmas. ”Saya enggak tahu nama obatnya, tetapi ada obat yang harga satu paketnya Rp 400.000. Tiga bulan lalu, petugas di apotek mengumumkan kalau harga obat akan naik,” katanya saat ditemui di RS Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, akhir pekan lalu.
”Saya dan istri sudah tua, penyakit banyak. Kalau bisa harga obat jangan naik,” ujarnya.
Yang terpuruk adalah pasien kelas menengah bawah yang dianggap tidak miskin, tetapi dananya sangat pas-pasan.
Norma (40), warga Jalan Pancing, Medan, Sumatera Utara, penderita tumor payudara dan baru dioperasi, mengatakan, keluarganya terpaksa pinjam sana- sini dan menggadaikan barang untuk membiayai operasi. Keluarga Norma berupaya mengurus Jamkesmas, tetapi ditolak.
Nasib serupa menimpa Parjono (60), warga Masaran, Sragen, Jawa Tengah, tukang becak yang beristri buruh pembatik. Ia terpaksa berutang untuk membayar biaya rawat inap sembilan hari di RSUD Dr Moewardi, Solo, karena sakit jantung. Adik Parjono, Triyono, mengatakan, biayanya Rp 4,5 juta. Surat keterangan tidak mampu hanya memberikan potongan 10 persen.
Josephin (49), warga Jakarta yang menderita diabetes, memilih menggunakan obat generik. Ia harus mengonsumsi obat secara rutin dua kali sehari. Untuk obat generik saja ia menghabiskan biaya Rp 150.000 per bulan. Hal sama dilakukan suami Josephin, Sadmoko (50), penderita gangguan jantung, dalam membeli obat pengencer darah.
Namun, tidak semua obat tersedia versi generiknya, misalnya obat untuk kanker. Keresahan dirasakan Sondang (40), yang menunggui anaknya, Christine (4), yang terkena leukemia. Christine telah empat bulan di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Dalam 25 hari pertama, Sondang mengeluarkan biaya Rp 22 juta. Sebagai pegawai negeri sipil, Sondang ditanggung Asuransi Kesehatan (Askes). Namun, tak semua obat kemoterapi dan peralatan penunjang ditanggung Askes.
Wakil Direktur Bidang Pelayanan RSUD Tugurejo, Semarang, Haryadi Ibnu Junaedi memaparkan, pihaknya kini menawarkan pilihan obat generik atau obat bermerek bagi pasien umum. Untuk pemberian obat di atas Rp 100.000, pasien akan dimintai tanda tangan persetujuan agar pasien tak kaget saat membayar biaya RS.
Kambing hitam
Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group Parulian Simanjuntak di Jakarta menyatakan, harga obat dipersoalkan karena 80-85 persen penduduk Indonesia membayar biaya kesehatan dari dana pribadi.
”Tersedianya jaminan sosial untuk biaya kesehatan amat mendesak. Selama jaminan itu tidak ada, obat akan menjadi kambing hitam,” katanya.
Di negara maju, seperti Amerika Serikat, biaya obat hanya 7-8 persen dari total biaya kesehatan. Komponen biaya terbesar justru pada penggunaan alat-alat modern untuk diagnosis penyakit serta biaya dokter.
Menurut Parulian, kenaikan harga obat setiap tahun dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tingkat inflasi. Hal senada dinyatakan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Sunarjo.
Penyebab lain kenaikan harga obat, menurut Parulian, adalah tidak efisiennya pasar obat di Indonesia. Pangsa pasar obat Indonesia sangat kecil, tetapi jumlah industri dan distributor farmasi sangat besar.
Saat ini ada sekitar 200 perusahaan farmasi, baik perusahaan dalam negeri maupun asing. Pangsa pasar obat Indonesia pada 2010 hanya 4 miliar dollar AS atau 0,6 persen pangsa pasar obat dunia yang 700 miliar dollar AS. Padahal, porsi penduduk Indonesia 3,5 persen penduduk dunia. ”Walau potensi penduduk Indonesia besar, pangsa pasar obat Indonesia sangat kecil,” katanya.
Konsumsi obat Indonesia termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Konsumsi obat per kapita Indonesia tahun lalu hanya 17 dollar AS, jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi obat per kapita Malaysia yang mencapai 3-4 kali lipatnya.
Kenaikan harga obat kali ini terkait rencana pemerintah menaikkan pajak bahan kimia obat. Hal itu mengingat hampir semua bahan kimia obat diimpor.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ahmad Ramadhan Siregar mengatakan, tingginya harga obat disebabkan oleh kartel. Menurut Ramadhan, disparitas harga terjadi pada obat generik, obat generik bermerek, dan obat paten. Disparitas harga bisa mencapai 300 persen.
Dari perkara terkait farmasi yang ditangani KPPU, 50 persen biaya produksi obat adalah biaya promosi dan distribusi. ”Orang yang sedang sakit tidak bisa menolak apabila dokter merekomendasikan resep obat tertentu,” kata Ramadhan.
Rambu penetapan harga
Direktur Unit Bisnis Pharma Glaxo Smith Kline (GSK) Indonesia Kent K Sarosa menyatakan, harga obat berbeda di setiap negara. Di negara-negara Eropa yang menerapkan asuransi kesehatan sosial, harga obat bergantung pada negosiasi pemerintah atau pengelola asuransi sosial dengan produsen sehingga bisa lebih murah dibandingkan harga di negara lain. Selain itu, obat generik lebih diutamakan sehingga ketika suatu obat habis masa perlindungan patennya, produsen otomatis menurunkan harga obat agar mampu bersaing dengan produsen yang membuat obat generik.
Masalahnya, menurut Kent, di Indonesia tak ada rambu penetapan harga obat generik bermerek. Karena itu, produsen yang memproduksi obat yang habis masa patennya menjual obat dengan harga tak jauh berbeda dengan obat originator (asli). Akibatnya, harga obat originator yang patennya berakhir ataupun obat generik bermerek tidak pernah turun, bahkan cenderung naik terus. Masalah lain, ada ketakpercayaan masyarakat dan sebagian dokter terhadap mutu obat generik sehingga pemanfaatan obat generik masih sedikit.
Pemerintah perlu membuat rambu penetapan harga obat generik bermerek. Kent dan Parulian berpendapat, pemerintah perlu menjaga mutu dan menyosialisasikan obat generik agar lebih banyak yang memakai sehingga harga obat bisa turun.
wahhh,,wahh ,,wahhh,,ada vaksin nya g yahhh,,,ancaman "high class harga obat" ibu2,,bapak2 yang berwenang,,tulung dunkk,,nyariin vaksinn nya to!!!
gini dunks., postingan tu rangkuman/nyusun ndiri.,perbanyak postingan ndiri. jangan banyak kopas'a!hhaha
BalasHapuswwwkkkk,,abng shincann lebayy,,bisa ditebak,,dr bahasa anda,,sepertinya anda penderita high class harga obat disease jugah neh,,,wkwkkwkw,,,rugi brp san beli2 obat,,wkwkwk,,,asal isan tau yahh,,mona baca di surat kabar begitu,,negara orang seribu rupiah obat bermerk bagus dapat sekantong ,,wkk,,
BalasHapus